Wednesday, January 12, 2011

DI SEBALIK JILBAB ITU

Matanya berkaca menyinar silaunya membuatku terpesona,
Seperti ceritera dongeng bidadari turun dari syurga
Aku khilaf dan tersindir untuk berbahasa tentangnya

Jilbabnya menutup pesona kewanitaannya
Menerbitkan citra bahasa jiwa
Yang mampu kubaca hatinya
Walau aku tidak mesra menatap wajahnya
Sementelah menagih seraut senyuman
Namun aku dapat merasakan kasihnya
Kerana getar cintanya terasa di sukma

Di sebalik jilbab itu,
Telah aku fahami isi hatinya
Apabila kita saling mengenali melalui hati
Tanpa rasa sangsi, kerana wanita yang berselubung jilbab itu,
Amat suci hatinya
Amat tulus jiwanya
Amat cantik kurnianya
Sehingga hatiku sering meronta-ronta
Untuk memperisterikannya……….

puisi ini ku tujukan buat insan tersayang yang selama ini sentiasa bersamaku walau susah dan senang...

Tuesday, January 11, 2011

Pluralisme: Kerancuan Istilah dan Pemahaman

Anis Malik Thoha



Perdebatan dan kontroversi tentang masalah Pluralisme kembali menghangat di Indonesia. Meskipun masalah ini sudah banyak ditulis dan didiskusikan, pro-kontra itu terus saja berlangsung. Dalam mencermati hiruk-pikuk wacana “Pluralisme” pada umumnya, dan “Pluralisme Agama” khususnya, yang tengah marak di negeri kita pada dasawarsa pertama abad ke-21 ini; pun juga dalam berbagai kesempatan mengisi berbagai workshop, seminar dan konferensi, khusus mengenai isu dan wacana tersebut, saya merasa gamang, ada sesuatu yang sangat mengusik nalar kesadaran.
Bagaimana tidak? Wacana ini sudah sedemikian melebar dan meluas, serta merambah ke berbagai ranah, dan disahami oleh berbagai kalangan – mulai dari politisi, budayawan, agamawan sampai akademik, tapi topik utama yang diwacanakan ini nyaris tidak pernah benar-benar diupayakan pendefinisiannya secara teknis atau sesuai dengan yang dimaksudkan oleh para ahlinya. Padahal inilah langkah metodologis awal yang mesti dilakukan oleh siapa pun yang interest dan berkepentingan dengan isu ini. Lebih dari itu, sebetulnya masalah ini adalah masalah tuntutan logis belaka yang niscaya, yang jika diabaikan maka secara tak terhindarkan akan menciptakan tidak saja kerancuan atau kebingungan (confusion), tapi juga pada akhirnya mengaburkan dan bahkan menyesatkan (misleading).
Para ulama kita terdahulu dari berbagai bidang dan disiplin ilmu ternyata sangat peka dan menyadari betapa krusialnya problem definisi ini sebelum mereka mengupas bahasan-bahasan di bidang masing-masing secara detail. Para fuqaha’, misalnya, begitu sistematis dalam mengupas masalah-masalah fiqh, dimulai dengan definisi-definisi yang gamblang secara lughawy maupun teknisnya: apa itu taharah, wudhu, tayammum, mandi, dsb. Tapi sayang sekali, dewasa ini model dan tradisi semacam ini tampak banyak ditinggalkan oleh kalangan kita, khususnya dalam hal berwacana Pluralisme Agama.
Entah karena sebab oversight atau apa, yang jelas pada hakekatnya tidak banyak di kalangan kita yang mencoba mengerti atau memahami, apalagi mempersoalkan problem definisi ini dengan betul dan bijak. Seakan-akan istilah Pluralisme Agama ini sudah cukup jelas dan, oleh karenanya, boleh taken for granted. Padahal, istilah “pluralisme” itu jelas-jelas istilah (baca: ideologi) pendatang yang merangsek ke alam sadar dan di-bawah-sadar kita bersama-sama dengan istilah-istilah dan ideologi-ideologi asing yang lain, seperti democracy, humanism, liberalism, dsb. yang tentu saja tidak bisa kita maknai seenak kita atau menurut “selera” dan asumsi kita.
Secara umum dapat dikatakan bahwa kebanyakan orang yang ditokohkan di kalangan kita beranggapan secara simplistis bahwa “pluralisme adalah toleransi” atau “pluralisme agama adalah toleransi agama”. Fakta ini dapat dilihat daripada ingar-bingarnya reaksi dan respon yang cenderung “emosional” terhadap fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang dikeluarkan pada tahun 2005 tentang hukum haramnya Sekularisme, Pluralisme dan Liberalisme (atau yang dikenal dengan SIPILIS), dan juga terhadap resolusi Muzakarah Ulama Se-Malaysia, 2006, di Negeri Perak, Malaysia, yang dibacakan oleh Mufti Perak, Datuk Dr. Harussani, yang menegaskan hukum yang sama dengan fatwa MUI. Yang menyedihkan, anggapan atau asumsi simplistik ini tidak hanya terbatas pada kalangan “awam” (yang memang tak terdidik secara akademis dalam bidang ini), tapi hatta kalangan para tokoh atau yang ditokohkan yang memang spesialisasi akademiknya di bidang ini pun tampak begitu over-confident dengan pemahamannya yang simplistik.
Salah satu contoh yang paling konkrit adalah sebuah Disertasi Doktor di Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, yang kemudian diterbitkan pada awal tahun 2009 yang lalu dengan judul Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi Berbasis Al-Qur’an. Dalam buku ini tak nampak ada upaya yang serius dari pengarangnya untuk mendiskusikan definisi teori atau faham Pluralisme Agama yang menjadi topik utama bahasannya, malah terjebak pada pengertian yang keliru di atas tadi. Pembaca yang cermat tidak perlu bersusah-payah melongok kedalamnya, dari judul saja sudah cukup untuk mengetahui apa gerangan yang dimaksudkan oleh pengarangnya tentang faham Pluralisme Agama ini, yang tiada lain adalah “toleransi agama”.
Tapi meskipun demikian, anehnya buku ini mendapat sambutan yang luar biasa oleh media massa kita, dan juga sanjungan dan pujian yang sangat berlebihan dari sederet nama orang-orang yang ditokohkan di masyakarat Indonesia dengan latar-belakang yang beragam yang jumlahnya lebih dari selusin. Hal ini semakin membuktikan betapa kacaunya dunia pemikiran dan akademik di kalangan kita.
Anggapan bahwa “pluralisme agama adalah toleransi agama” adalah anggapan subyektif yang jelas-jelas ditolak oleh para pakar dan penganjur pluralisme sendiri. Diana L. Eck, direktur The Pluralism Project di Universitas Harvard, Amerika Serikat, misalnya, dalam penjelasan resminya yang berjudul “What is Pluralism?” dan diulangi dalam “From Diversity to Pluralism” (masing-masing bisa diakses dan dibaca pada http://pluralism.org/pluralism/what_is_pluralism.php, dan http://pluralism.org/pluralism/essays/from_diversity_to_pluralism.php), menyuguhkan empat karakteristik utama untuk mendefinisikan faham ini secara detail. Dia menyatakan salah satunya bahwa “pluralism is not just tolerance,” yang bermakna “pluralisme bukanlah sekedar toleransi.” Pernyataan yang lebih kurang sama juga dia sampaikan dalam keynote addressnya yang berjudul “A New Religious America: Managing Religious Diversity in a Democracy: Challenges and Prospects for the 21st Century” pada MAAS International Conference on Religious Pluralism in Democratic Societies, di Kuala Lumpur, Malaysia, Agustus 20-21, 2002. Lebih lanjut ia berkata dalam keynote addressnya ini:
I would propose that pluralism goes beyond mere tolerance to the active attempt to understand the other… Although tolerance is no doubt a step forward from intolerance, it does not require new neighbors to know anything about one another. Tolerance comes from a position of strength. I can tolerate many minorities if I am in power, but if I myself am a member of a small minority, what does tolerance mean? … a truly pluralist society will need to move beyond tolerance toward constructive understanding… Tolerance can create a climate of restraint, but not a climate of understanding. Tolerance is far too fragile a foundation for a religiously complex society, and in the world in which we live today, our ignorance of one another will be increasingly costly. (penegasan dari penulis)
(Saya usulkan bahwa pluralisme itu lebih dari sekadar toleransi menjadi upaya aktif memahami (orang/kelompok)yang lain… Meski tak diragukan lagi toleransi itu selangkah lebih maju daripada intoleransi, ia tidak menuntut orang-orang yang bertetangga baru untuk tahu sedikit pun antara satu dengan lainnya. Toleransi muncul dari pihak yang kuat posisinya. Saya dapat toleran dengan banyak kelompok minoritas jika saya kuat (berkuasa), tapi jika saya sendiri dari kelompok minoritas, apa artinya toleransi? … suatu masyarakat yang betul-betul pluralis perlu melampaui toleransi menuju pemahaman yang konstruktif… Toleransi dapat menciptakan iklim pengekangan-diri, tapi bukan iklim (saling) memahami. Toleransi adalah pondasi yang sangat rapuh dan rentan bagi sebuah masyarakat yang beragam agama, dan di dunia dimana kita hidup sekarang ini, ketidak-tahuan kita antara satu dengan lainnya ongkosnya (yang harus dibayar) akan semakin mahal).
Jadi sangat jelas sekali apa yang dimaksudkan dengan pluralisme oleh kaum pluralis sejati. Mereka tidak mengingkari pentingnya toleransi, “There is no question that tolerance is important,” kata Eck dalam makalahnya yang lain (“From Diversity to Pluralism”), tapi segera setelah itu ia tambahkan: “but tolerance by itself may be a deceptive virtue” (tetapi toleransi itu sendiri boleh jadi menjadi suatu budi-pekerti/kebaikan yang menipu). Pandangan miring terhadap toleransi ini sebetulnya sudah mulai dilantunkan kalangan pemikir pluralis semenjak tahun 60-an pada abad ke-20 yang lalu.
Sebut saja, misalnya, Albert Dondeyne yang dalam bukunya, Faith and the World, yang terbit di Dublin oleh Gill and Son pada tahun 1963, menulis pada halaman 231: “Let us note that was what then called tolerance would be considered today as the expression of systematic intolerance. In other words, tolerance was then almost synonymous with moderate intolerance.” (Mari kita catat bahwa apa yang dahulu dinamakan toleransi, kini telah dianggap sebagai sebuah ekspresi ketidaktoleranan yang sistematis. Dalam istilah lain, toleransi dengan begitu hampir sinonim dengan intoleransi yang moderat).
Bahkan sebelumnya Arnold Toynbee, seorang sejarawan Inggris terkemuka, dalam bukunya, An Historian’s Approach to Religion, yang terbit di London oleh Oxford University Press, tahun 1956, sudah mewanti-wanti bahwa “toleransi tidak akan memiliki arti yang positif,” bahkan “tidak sempurna dan hakiki, kecuali apabila manifestasinya berubah menjadi kecintaan.” (hal. 251)
Yang perlu digaris-bawahi di sini adalah bahwa bagi kalangan pluralis sejati, Pluralisme pada umumnya dan Pluralisme Agama pada khususnya bukanlah toleransi sebagaimana yang jamak di(salah)fahami oleh kalangan pluralis. Penekanan Pluralisme lebih pada “kesamaan” atau “kesetaraan” (equality) dalam segala hal, termasuk “beragama”. Setiap pemeluk agama harus memandang sama pada semua agama dan pemeluknya. Pandangan ini pada akhirnya akan menggerus konsep keyakinan ”iman-kufur”, ”tauhid-syirik”, dalam konsepsi Islam.
Al-Quran jelas menyebut orang mukmin sebagai ”khairul bariyyah” (sebaik-baik makhluk), sedangkan orang kafir disebut ”syarrul bariyyah” (seburuk-buruk makhluk). Bahkan, al-Quran juga tidak menyetarakan antara orang shaleh dengan orang jahat (fasik). Orang yang paling mulia disisi Allah adalah orang yang taqwa. Maka, Islam punya konsep kesetaraan sendiri yang jelas berbeda dengan konsep kesetaraan kaum Pluralis Agama.
Karena itu, memang umat Islam harus sangat berhati-hati dalam mengadopsi satu istilah atau paham yang jika tidak berhati-hati akan dapat merusak keimanannya sendiri. Islam – sejak awal kelahirannya – sudah memiliki konsep yang jelas bagaimana memandang agama lain dan bagaimana berhubungan dengan pemeluk agama lain. Seharusnya konsep inilah yang digali dan dikembangkan, bukan justru mengadopsi konsep yang lahir dari masyarakat yang selama ratusan tahun tidak mengakui bahkan menindas keberagaman (pluralitas).

Kritik Al-Attas Terhadap Pandangan Alam (Worldview) Barat

Dr. Khalif Muammar A. Harris[1]
Syed Muhammad Naquib Al-Attas adalah seorang intelektual Muslim yang ulung pada abad ini karana telah berhasil membongkar kepincangan filsafat Barat dan menanggapinya secara kritis dan cerdas. Melalui karya-karyanya tentang metafisika Islam, beliau juga telah berhasil membawa pemikiran Islam ke tahap yang lebih tinggi. Salah satu sumbangan besar beliau dapat dilihat melalui sebuah karya yang bertajuk Islam and Secularism yang diterbitkan pada tahun 1978. Dalam buku ini beliau telah mengkaji dan membedah inti peradaban Barat dan pandangan alamnya, menunjukkan kepincangan-kepincangan yang ada padanya, kekeliruan dan bencana yang diakibatkannya, dan menyediakan bagi umat Islam solusi dalam menghadapi krisis keilmuan ini. Keagungan karya al-Attas diakui bukan saja oleh para pengikut dan muridnya tetapi oleh banyak cendekiawan Muslim dan beberapa pemikir Barat, seperti terlihat dalam Cranlana Programme,[2] dalam usaha mereka untuk memahami sumbangan pemikir-pemikir dunia dalam menciptakan masyarakat dan peradaban yang unggul.
Dunia hari ini dipenuhi dengan kekacauan (chaos) dalam hampir semua bidang kehidupan. Kekacauan dapat kita lihat dalam sistem ekonomi dunia hari ini yang telah menjamin kesejahteraan kelompok kecil manusia tetapi memberi kesengsaraan kepada mayoritas penduduk dunia; sistem politik kontemporer juga seringkali gagal melahirkan pemimpin-pemimpin yang amanah dan membela nasib rakyat kecil; universitas-universitas seringkali gagal melahirkan manusia-manusia yang beradab dan maju dalam arti kata yang sebenarnya; sains dan teknologi yang gagal menjadikan dunia lebih layak dihuni oleh manusia. Segala kekacauan yang timbul hari ini menurut al-Attas bermula dari krisis keilmuan yang datang dari Barat. Bagi al-Attas krisis keilmuan adalah tantangan terbesar yang dihadapi oleh umat manusia di zaman ini, karena bangunan ilmu (epistemic construct) ini yang akan menentukan bagaimana sistem politik, sistem ekonomi, sistem sosial dan institusi pendidikan dibangun. Korpus ilmu yang hari ini banyak diwarnai oleh peradaban Barat telah dirusakkan oleh paham-paham sekular dan liberal. Maka terjadilah kerusakan pada ilmu (the corruption of knowledge). Paham sekular-liberal ini memiliki framework pemikiran dan konsepsi yang keliru tentang ilmu, manusia, agama, wahyu, Tuhan dan kata kunci lainnya yang mendefinisikan pandangan alam sesuatu peradaban. Kekeliruan dalam epistemologi inilah yang menyebabkan Barat gagal mengenali hakikat sebenarnya akan realitas kehidupan dan meletakkan sesuatu pada tempatnya yang sepatutnya.

Sebelum dapat melihat kepincangan pandangan alam Barat, al-Attas terlebih dahulu mendalami filsafat dan pemikiran Barat seperti rasionalisme, empirisisme, positivisme dan pragmatisme. Beliau menyerang sikap Barat yang terlalu mengagungkan ilmu sains sebagai satu-satunya cabang ilmu yang dapat memberikan kepastian dan keyakinan tentang realitas.[3] Oleh karena itu menurut al-Attas Barat telah ”membatasi pandangan alam pada alam yang dialami oleh indera jasmani serta dibentuk oleh akal rasional ”.[4] Dengan menggunakan kaidah rasionalisme dan empirisisme, bagi mereka hakikat hanyalah alam empirik. Dari kajian yang mendalam terhadap worldview Barat ini al-Attas menyimpulkan bahawa ilmu itu tidak netral. Karena baginya ilmu “bukan hanya suatu sifat yang dimiliki akal manusia, bukan juga hanya hasil pengolahan sifat itu tanpa dipengaruhi oleh nilai-nilai yang mempertimbangkan kesahihan pendapatnya”.[5] Yang kita anggap ilmu tidak berdiri sendiri sebagai fakta dan informasi tanpa cara pandang dan worldview tertentu. Seseorang mestilah memiliki kerangka pemikiran dan worldview tertentu sebelum ia dapat mencerna fakta-fakta dan informasi tersebut. Pandangan al-Attas ini tidak diterima oleh beberapa cendekiawan Muslim sendiri, seperti Fazlur Rahman[6] dan Pervez Hoodboy[7], yang terpengaruh dengan worldview Barat dan mengatakan bahawa ilmu itu value-free (bebas nilai). Mereka melihat bahawa ilmu-ilmu yang dihasilkan oleh Barat tidak mengandung nilai-nilai yang bertentangan dengan pandangan alam Islam. Pandangan al-Attas bahawa ilmu itu sarat nilai (value laden) sejajar dengan banyak ilmuwan lain seperti Thomas S. Kuhn dalam bukunya The Structure of Scientific Revolution[8] dan Edward Said dalam bukunya Orientalism dan Culture and Imperialism.[9] Tinjauan lebih mendalam akan mendapati bahwa pandangan seperti ini hanya dimiliki oleh beberapa cendekiawan yang mandiri dan berani melihat peradaban Barat secara kritis.

Al-Attas meneliti secara mendalam sumber kekeliruan dalam pemikiran Barat. Beliau menjelaskan bahawa latar belakang filsafat Barat banyak mennggambarkan pandangan alam Barat. Beliau melihat bahwa pandangan alam Barat dimasuki berbagai unsur dari filsafat Yunani dan Romawi, ajaran-ajaran Yahudi dan Kristen, unsur-unsur kepercayaan orang Latin, German, Celtic dan Nordik telah menimbulkan kekeliruan dan bukan suatu paduan yang baik. Bahkan menurutnya Islam juga telah menyumbang ke arah kematangan pemikiran Barat melalui semangat rasionalisme dan saintifik. Namun campuran berbagai sumber tersebut, walaupun ada di antaranya yang baik, karena tidak diletakkan di tempatnya masing-masing telah menggiring peradaban Barat ke arah dualisme dan tragedi.[10] Al-Attas menolak tesis Harvey Cox bahwa sekularisasi mempunyai akarnya dalam Bible.[11] Beliau menegaskan bahawa akar sekularisasi bukan pada Bible tetapi pada pentafsiran Bible oleh manusia Barat.[12] Maka yang berlaku sebenarnya adalah bukan peng-kristenan masyarakat Barat tetapi pembaratan agama Kristen oleh masyarakat Barat.[13]

Kerusakan pada ilmu bermula daripada dualisme. Menurut al-Attas dualisme menjadi karakter worldview dan sistem nilai peradaban Barat. Dualisme berlaku apabila dua perkara dilihat bertentangan, terpisah dan tidak dapat disatukan secara harmoni. Bibit-bibit pemisahan berlaku dalam agama Kristian apabila dipisahkan antara sacred (suci) dan profane (tidak suci). Kemudian dalam sekularisme berlaku pemisahan antara spirit (ruh) dan matter (benda).[14] Malah menurut al-Attas pandangan alam sekular telah menjadikan alam empiris (benda) ini qadim.[15] Seterusnya berlaku pemisahan antara wahyu (revelation) dan akal (reason) dan antara tradisi dengan modernitas. Dari pemisahan ini maka manusia sekular yang telah mengagungkan ilmu sains dan membataskan hakikat pada alam empiris, akan cenderung memilih akal daripada wahyu, benda daripada ruh, dunia daripada akhirat, modernitas daripada tradisi. Maka dengan tepat al-Attas menyimpulkan bahwa peradaban Barat telah berpegang sepenuhnya kepada akal rasional manusia dalam menguraikan segala persoalan.[16] Dan ini menurut beliau adalah satu bentuk deification of human being (pendewaan manusia). Dan tentunya manusia yang diagungkan di sini adalah manusia sekular dan manusia sekular yang tulen semestinya adalah manusia Barat.[17] Proses ini mengukuhkan lagi tesis beliau bahwa telah berlaku westernisasi ilmu, maka untuk itu diperlukan dewesternisasi ilmu.
Dibandingkan epistemologi Islam yang menekankan keyakinan dan kepastian. Epistemologi Barat mengangkat keraguan (doubt, shakk) menjadi kaidah epistemologi yang melaluinya segala ilmu dan kebenaran diperoleh.[18] Oleh karenanya seringkali epistemologi seperti ini berakhir kepada kekeliruan dan skeptisisme. Tidak heranlah jika agnotisme, ateisme, utilitarianisme dan evolusionisme mulai bermunculan setelah rasionalisme Barat diperkenalkan oleh Descartes pada abad ke-17.[19] Akibat daripada epistemologi yang keliru ini maka selalu terjadi perombakan dalam epistemologi Barat. Modernisme yang menegaskan objektivisme kini dirombak oleh pascamodenisme yang mengagungkan relativisme dan subjektivisme. Bertrand Russell menegaskan pandangan falsafah Barat terhadap ilmu dengan mengatakan bahawa “All knowledge is more or less uncertain and more or less vague”.[20] Malah Russell berkesimpulan bahwa ilmu adalah produk keraguan.[21] Kerana keraguan menjadi asas pencarian ilmu ini maka manusia dalam falsafah Barat tidak akan dapat mencapai kepastian. Kerangka epistemologi yang sekular ini menyebabkan sesuatu yang dianggap ilmu dalam kerangka pemikiran Barat tidak semestinya ilmu dalam arti kata yang sebenar tetapi boleh dikatakan sebagai pseudo knowledge (ilmu yang palsu). Ketidakpastian ini berlaku disebabkan oleh peminggiran sumber ilmu yang utama, yaitu wahyu, dan karena itu manusia tidak lagi dapat mengetahui perkara-perkara yang pasti. Dan ketidakpastian menjadi satu realitas dalam ilmu Barat. Sebaliknya sesuatu yang dianggap pasti dan tetap kini menjadi tidak pasti dan berubah-rubah. Seharusnya relativisme dan subjektivisme juga dilihat sebagai sesuatu yang tidak pasti. Namun ternyata pomodernis mengecualikan relativisme dan subjektivisme daripada ketidakpastian yang menjadi ciri filsafat Barat.

Ketidakpastian ini juga yang menggiring pemikiran Barat kepada konsep tragedi. Tragedi adalah konsep ketidaksampaian (unattainment) dalam segala usaha manusia. Tragedi menjadi ciri peradaban Barat dan merupakan realiti yang mesti diterima dalam kehidupan manusia sehingga banyak film dan teater berakhir dengan tragedi dan kesudahan yang dramatik. Manusia dianggap makhluk yang malang. Malang kerana harus menanggung dosa warisan (original sin) dan harus bergantung dengan keupayaan sendiri, akal rasional, untuk mencapai kebenaran. Sedangkan pada hakikatnya ia adalah makhluk yang paling beruntung kerana diberikan karunia yang tidak terhingga oleh Allah SWT. Dan Allah telah memberikannya banyak fakultas termasuk akal yang berfungsi untuk mengenal Allah dan mengenali dirinya. Sikap negatif manusia sekular terhadap kehidupan ini kemudian diimbangi dengan sikap keterlaluan dalam mengapresiasi kehidupan duniawi. Manusia dihakimi hanya hidup sekali maka selama hidup ini manusia harus mencari kepuasan dan kesenangan sebanyak mungkin. Sedangkan dalam pandangan Islam kehidupan dunia ini adalah ujian, jembatan, dan tempat berbekal. Di dunia manusia terikat dengan hutang kewujudan (the debt of existence) dan bukan original sin. Setelah mati manusia akan dihidupkan. Ia akan bertanggungjawab atas apa yang dilakukan di dunia dan menjalani kehidupan abadi sesuai dengan takdirnya.

Masalah yang paling besar dalam ilmu kontemporer adalah sikap Barat terhadap agama yang dicirikan oleh ketidakpercayaan (disenchantment towards religion). Hal ini berkaitan erat dengan sikap sarjana Barat yang menganggap bahawa Tuhan dan agama hanyalah ilusi yang dihasilkan oleh manusia. Tuhan tentunya bukan sama sekali khayalan, mitos, yang berubah seiring perubahan zaman. Bagi al-Attas Tuhan adalah hakikat semata-mata.[22] Di sinilah berlakunya pertentangan antara pandangan alam sekular dengan pandangan alam yang berasaskan kepada tanzil (wahyu). Pertentangan ini bermuara pada perbedaan “agama dan filsafat, dan sains sekular ialah cara dan kaidah kita dalam memahami arti sumber dan kaidah ilmu”.[23] Akibat dari peminggiran agama dalam kehidupuan maka realitas keruhanian dan kebenaran pada zaman modern dicirikan dengan ketidakpastian. Hal ini berlaku seiring dengan kecenderungan masyarakat modern yang kehilangan minat terhadap agama (Kristen) dan bertumpu kepada ilmu-ilmu sains. Sikap terhadap agama inilah yang menyebabkan masyarakat Barat, menurut al-Attas, mendewakan manusia dan memanusiakan Tuhan (man is deified and Deity humanized).[24] Selanjutnya akibat daripada ketidakpercayaan ini maka segala konsepsi terhadap alam realitas menjadi sekular dan materialistik. Maka konsep pembangunan (development), kemajuan (progress) dan perubahan (change) akhirnya tidak terlepas dari kerangka sekular dan materialistik tersebut.

Semua kekeliruan dalam pandangan alam Barat dapat disimpulkan oleh al-Attas kepada lima perkara yang juga mendefinisikan peradaban Barat: pertama, kepercayaan mutlak pada akal (rasional) sebagai panduan dalam kehidupan; kedua, pandangan dualistik terhadap realitas dan kebenaran; ketiga, penerimaan aspek ke-disinikini-an sehingga memancarkan pandangan alam yang sekular; keempat, penerimaan doktrin humanisme; kelima, menjadikan drama dan tragedi sebagai kenyataan dan sangat berpengaruh kepada hakikat manusia dan kejadian:
Reliance upon the powers of human reason alone to guide man through life; adherence to the validity of the dualistic vision of reality and truth; affirmation of the reality of the evanescent-aspect of existence projecting a secular worldview; espousal of the doctrine of humanism; emulation of the allegedly universal reality of drama and tragedy in the spiritual, or transcendental, or inner life of man, making drama and tragedy real and dominant elements in human nature and existence—these elements altogether taken as a whole, are, in my opinion, what constitute the substance, the spirit, the character and personality of Western culture and civilization.[25]

Sekularisasi dan Desekularisasi

Sekularisasi, menurut Harvey Cox, adalah ”pembebasan manusia dari bimbingan agama dan metafisika, menukar tumpuan manusia dari alam akhirat ke alam dunia”.[26] Pembebasan ini katanya untuk kepentingan manusia, karena pemikir-pemikir Barat umumnya melihat bahwa agama adalah penghalang pada kemajuan manusia.
Sejak kemunculan sekularisme, bidang yang pertama mendapat akibatnya adalah bidang politik. Karena tujuan sekularisme juga adalah supaya agama dan gereja tidak campurtangan dalam urusan keduniaan. Oleh itu urusan keduniaan diserahkan sepenuhnya kepada penguasa politik. Sedangkan agama dibatasi pada ruanglingkup ritual dan spiritual.
Kesilapan besar yang dilakukan oleh sekularisme antara lain seperti disebutkan oleh Profesor Syed Muhammad Naquib al-Attas adalah pembebasan alam dari unsur-unsur keagamaan (disenchanment of nature), beliau mengatakan:
By the ‘disenchanment of nature…[the Western philosopher-scientist] mean…the freeing of nature from its religious overtones; and this involves the dispelling of animistic spirits and gods and magic from the natural world, separating it from God and distinguishing man from it, so that man may no longer regard nature as a divine entity, which thus allows him to act freely upon nature, to make use of it according to his needs and plans.[27]

Kritik al-Attas terhadap sekularisme cukup jelas. Beliau mengecam pemisahan antara materi dan spiritual yang akhirnya mengangkat manusia sebagai penguasa mutlak di alam ini:
”…effected a final dualism between matter and spirit in a way which left nature open to the scrutiny and service of secular science, and which set the stage for man being left only with the world on his hands.”[28]

Oleh itu, akar permasalahan politik kontemporer sebenarnya terletak pada kerancuan dalam pandangan alam (worldview) sekular. Pandangan alam sekular telah membuang segala yang bersifat transenden dan mengalihkan perhatian manusia kepada segala yang bersifat keduniaan dan kekinian. Dengan demikian ciri utama filsafat-filsafat Barat modern dan postmodern adalah immanentisme. Filsuf-filsuf Barat telah meminggirkan agama, petunjuk Tuhan dan nilai-nilai moral. Apa yang disebut sebagai tradisi ini telah digantikan dengan rasionalisme sekular, kemajuan material (material progress) dan kebebasan individu.
Setelah pemisahan agama dan negara dilakukan maka apa yang berlaku tiadanya panduan dan bimbingan terhadap peranan manusia dalam kehidupan. Kebenaran sesuatu ditentukan sepenuhnya oleh akal fikiran manusia yang subjektif. Empirisisme, positivisme dan saintisme dicipta untuk menjadi panduan dalam menentukan sepenuhnya benar salah, baik buruk sesuatu perkara. Akan tetapi keangkuhan modernisme Barat ini lalu digugat oleh postmodernisme yang lahir dari rahim modernisme sendiri. Maka apa yang terjadi sebenarnya setelah melepaskan diri dari agama, manusia sekular berada dalam putaran ganas relativisme dan nihilisme hasil ciptaan manusia sekular sendiri.

Mengenai kesesatan sekularisme, al-Attas mengatakan bahawa dengan membuang unsur-unsur transenden, sekularisme telah mendewakan manusia:
The reduction of man of his transcendent nature as spirit emphasizing his humanity and physical being, his secular knowledge and power and freedom, which led to his deification, and so to his reliance upon his own rational efforts of inquiry into his origins and final destiny, and upon his own knowledge thus acquired which he now sets up as the criterion for judging the truth or falsehood of his own assertions.”[29]
Dalam mengritik sekularisme, Prof. Wan Mohd Nor menekankan bahwa bukan kemajuan material dan pembangunan yang ditentang tetapi kecenderungan sekularisme menjadikan realitas dan kebenaran ditentukan sepenuhnya oleh akal rasional dan empiris dengan demikian telah menolak bimbingan agama yang benar: ”what we critical of is the removal of spiritual meanings from human consciousness and activities, and from nature; the reduction of all truth and reality to what is only empirically and rationally verifiable and unaided by valid religious guidance.” Dalam hal ini Yusuf al-Qaradhawi menegaskan: “pengikisan agama dari politik berarti mengikisnya nilai-nilai murni, penolakan terhadap kejahatan, membuang unsur-unsur kebaikan dan ketakwaan, dan membiarkan masyarakat dikawal oleh unsur-unsur kejahatan.”[30]
Pembebasan alam kejadian (nature) dari unsur-unsur keagamaan oleh sekularisme diikuti dengan desakralisasi politik (desacralization of politics) dengan memisahkan agama dari politik. Sekularisme melakukan desakralisasi politik dengan memutuskan kekuasaan dunia dari kekuasaan transenden. Hal ini dilakukan atas alasan bahwa pemerintahan agama akan menghalangi perubahan dan kemajuan. Yang menjadi pencetus kepada pemisahan ini adalah kesalahan gereja dalam menghakimi bahwa mereka berkata atas nama Tuhan. Sehingga apa saja yang diutarakan oleh gereja adalah dari Tuhan padahal ini adalah dakwaan palsu. Justru itu yang seharusnya diruntuhkan adalah dakwaan berkomunikasi dengan Tuhan dan bukan peranan agama secara keseluruhannya.

Pemikiran sekular telah memisahkan antara wahyu dengan akal, agama dengan sains. Sekularisme berasumsi bahawa dua perkara yang dilihat bertentangan ini tidak dapat bersatu, keduanya dilihat secara dikotomis. Dengan dualisme ini sekularisme telah menempatkan manusia dan Tuhan sebagai entitas yang berlawanan dan terpisah. Inilah yang dimaksudkan dengan desakralisasi politik. Maka sejak zaman Renaissance telah terjadi pemisahan antara negara dan agama. Yang menjadi masalah pada hari ini adalah tanpa bimbingan Tuhan, manusia mengatur alam kehidupan mengikut hawa nafsu dan kepentingan sesaat (pragmatisme). Maka dalam berpolitik kepentingan peribadi dan kepentingan masing-masing golongan akan menjadi keutamaan berbanding kepentingan bersama atau kepentingan rakyat. Baik dan buruk tidak lagi bersifat universal tetapi relatif dan subjektif bergantung sepenuhnya kepada keinginan manusia sekular. Maka manusia sekular, karena hanya mempertimbangkan hal-hal keduniaan yang bersifat sementara dan dekat di mata kasar, sebenarnya bersandarkan kepada pemikiran yang dangkal, yang tidak mencerminkan kebijaksanaan tetapi ’kebijaksinian’.
Semua premis yang dikemukakan di atas membawa al-Attas kepada kesimpulan bahawa dewesternisasi dan desekularisasi terhadap ilmu-ilmu kontemporer adalah satu kemestian. Atas dasar inilah al-Attas membangun gagasan Islamisasi ilmu yang seringkali dikaitkan dengan ide dewesternisasi dan desekularisasi. Al-Attas telah membuktikan bahawa dualisme yang menjadi ciri khas pandangan alam Barat menyebabkan kekeliruan dalam memahami realitas dan kebenaran. Ia berawal dari kegagalan memahami kedua perkara tersebut dengan tepat dan keliru dalam meletakkan kedua perkara tersebut pada tempat yang sewajarnya. Pendewaan terhadap akal rasional (rasionalisme dan empirisisme) terjadi seiring dengan peminggiran yang sistematik terhadap agama dan metafisika. Al-Attas juga membongkar kelemahan konsepsi Barat tentang banyak perkara yang dicirikan dengan kepincangan dan ketidaksempurnaan. Konsepsi Barat tentang manusia, ilmu, pembangunan, kebahagiaan, agama, Tuhan, dan lain-lain adalah mengelirukan dan merusak. Sehingga siapa saja yang menerimanya akan ikut mengalami bencana dan malapetaka yang besar, yang akan sedikit demi sedikit meruntuhkan peradaban manusia.
NB:

Diadaptasi dari bahasa Malaysia ke dalam bahasa Indonesia oleh PIMPIN. Kekeliruan penerjemahan sepenuhnya tanggung-jawab penerjemah (M. Ishaq)
Rujukan:
Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. Islam and Secularism, diterbitkan oleh ABIM pertama kali pada 1978. Kuala Lumpur: ISTAC, 1993.
________. Prolegomena to the Metaphysics of Islam: an Exposition of the Fundamental Elements of the Worldview of Islam. Kuala Lumpur: ISTAC, 1995.
________. “The Worldview of Islam: An Outline” dalam Islam and The Challenge of Modernity: Historical and Contemporary Contexts, Sharifah Shifa al-Attas (ed.). Kuala Lumpur: ISTAC, 1996.
________. The Concept of Education in Islam: A Framework for an Islamic Philosophy of Education, Kuala Lumpur: ABIM, 1980.
________. Risalah untuk Kaum Muslimin, Kuala Lumpur: ISTAC, 2001.
________. Tinjauan Ringkas Peri Ilmu dan Pandangan Alam. Pulau Pinang: Penerbit Universiti Sains Malaysia, 2007.
Cox, Harvey. The Secular City. New York: Collier Book, 1965.
Kuhn, Thomas S. The Structure of Scientific Revolution. Chicago dan London: The University of Chicago Press, 1996.
Lyotard, Jean-Francois. The Postmodern Condition: A Report on Knowledge. Minneapolis: University of Minnesota Press, 1984.
Al-Qaradawi, Yusuf. al-Din wa al-Siyasah. Kaherah: Dar al-Shuruq, 2007.
Rahman, Fazlur. “Islamization of Knowledge: A Response” dalam The American Journal of Islamic Social Science (AJISS), vol.5, No. 1, 1988. Pp.3-11.
Russell, Russell. The Problems of Philosophy. Oxford: Oxford University Press, 1959.
Said, Edward. Orientalism. New York: Vintage Books, 1979.
Smart, Barry. Postmodernity: Key Ideas. London: Routledge, 1993.
Wan Mohd Nor Wan Daud, “An Islamic Philosophy of Education: From Conceptualization to Realization”. Kertas kerja yang dibentangkan pada persidangan: Islamic Education for Transformation, dianjurkan oleh Islamic Unity Convention di Capetown, Afrika Selatan pada 27 June 1997.
________. The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas: An Exposition of the Original Concept of Islamization. Kuala Lumpur: ISTAC, 1998.
________. Falsafah dan Amalan Pendidikan Islam Syed Muhammad Naquib Al-Attas: Satu Huraian Konsep Asli Islamisasi, Kuala Lumpur: Penerbit Universiti Malaya, 2005.
________. Masyarakat Islam Hadhari: Suatu Tinjauan Epistemologi dan Kependidikan ke Arah Penyatuan Pemikiran Bangsa. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2006.
9
________________________________________
[1] Dr. Khalif Muammar merupakan felo Penyelidik di Institut Alam dan Tamadun Melayu (ATMA), UKM. Beliau boleh dihubungi melalui emel: ketamadunan@yahoo.com atau www.khairaummah.com.
[2] Lihat Jennifer M. Webb (ed.), Powerful Ideas: Perspectives on the Good Society (Melbourne: the Cranlana Programme, 2002). Buku ini menghimpunkan pemikiran dan sumbangan 45 ilmuwan dan pemikir besar sepanjang sejarah manusia bermula daripada Plato sehingga John Rawls. Maklumat ini diberikan oleh Prof. Wan Mohd Nor, penulis ingin merakamkan penghargaan kepada beliau atas banyak tunjuk ajar yang diberikan.
[3] S.M.N. al-Attas, Tinjauan Ringkas Peri Ilmu dan Pandangan Alam (Pulau Pinang: Penerbit USM, 2006), 9. Setelah ini diringkas sebagai Peri Ilmu dan Pandangan Alam.
[4] Ibid., 16.
[5] Ibid., 15. Lihat juga Wan Mohd Nor Wan Daud, The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas: An Exposition of the Original Concept of Islamization (Kuala Lumpur: ISTAC, 1998), 306.
[6] Fazlur Rahman, “Islamization of Knowledge: A Response” dalam The American Journal of Islamic Social Science (AJISS), vol.5, No. 1, 1988, pp. 3-11.
[7] Pervez Hoodboy, Islam and Science: Religious Orthodoxy and the Battle for Rationality (London: Zed Book, 1992). Daripada tulisan terkininya kita dapati beliau menerima sepenuhnya worldview Barat, seperti katanya: “Just as important, the practice of religion must be a matter of choice for the individual, not enforced by the state. This leaves secular humanism, based on common sense and the principles of logic and reason, as our only reasonable choice for governance and progress”. Lihat “Science and the Islamic world—The quest for rapprochement”, di http://ptonline.aip.org/journals/doc/PHTOAD-ft/vol_60/iss_8/49_1.shtml
[8] Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolution (Chicago dan London: The University of Chicago Press, 1996), 4-5.
[9] Edward Said, Orientalism (New York: Vintage Books, 1979), 204.
[10] Al-Attas, Islam and Secularism, 134.
[11] Harvey Cox, The Secular City (New York: Collier Book, 1965), 15.
[12] “Secularization has its roots not in biblical faith, but in the interpretation of biblical faith by Western man”. Lihat Al-Attas, Islam and Secularism, 20.
[13] Ibid., 20, 22.
[14] Ibid., 33.
[15] Al-Attas, Peri Ilmu dan Pandangan Alam, 3. Qadim bermakna tidak bermula dan tidak berakhir.
[16] Al-Attas, Islam and Secularism, 137.
[17] Ibid., 25.
[18] Al-Attas, Peri Ilmu dan Pandangan Alam,5.
[19] Al-Attas, Islam and Secularism, 22.
[20] Encyclopedia Brittanica, The Theory of Knowledge.
[21] Bertrand Russell, The Problems of Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 1959), 156.
[22] Al-Attas, Peri Ilmu dan Pandangan Alam, 2
[23] Ibid., 2.
[24] Al-Attas, Islam and Secularism, 136.
[25] Ibid.,137.
[26] Harvey Cox, The Secular City, 15.
[27] Al-Attas, Islam and Secularism, 18.
[28] Ibid., 33.
[29] Ibid., 38.
[30] Yusuf al-Qaradawi, al-Din wa al-Siyasah (Kaherah: Dar al-Shuruq, 2007), 82.
Tags: WORLDVIEW
Posted 28 Jan 2010 by adminpimpin in Artike

Tulisan Dr Khalif Muammar mengenai Syed Muhammad Naquib Al-Attas terhadap pandangan alam (worldview) sekularisme...

Konsep Ilmu dan Metode Pendidikan dalam Pemikiran Al Ghazzali-Kitab Ihya ‘Ulumuddin

1. Pendahuluan

Disamping ketokohannya dalam berbagai bidang keilmuan seperti fikih, tasawuf, dan filsafat, Al Ghazzali adalah tokoh besar pendidikan Islam pada zamannya dengan pemikiran-pemikirannya masih mewarnai pemikiran umat Islam kontemporer. Namun memang ketokohannya dalam dunia pendidikan tampak tidak begitu dikenal sebagaimana ketokohannya di bidang-bidang yang lain. Padahal jika dilihat perjalanan hidupnya, al-Ghazzali banyak sekali bersentuhan dengan dunia pendidikan. Dalam usianya yang belum mencapai tiga puluh tahun al-Ghazzali telah memegang kedudukan tertinggi di universitas/madrasah Nizhamiyyah, Baghdad, sebuah center of excellent di dunia pendidikan Islam pada zaman itu. Di dalam persinggahannya di berbagai kota seperti Thus, Naisabur, Baghdad, al Ghazzali menjalani kehidupan sebagai seorang guru. Di akhir hayatnya, al Ghazzali mendirikan sekolah dengan dirinya sendiri yang langsung menjadi guru di kota kelahirannya Thus hingga akhir hayatnya.
Sebuah analisi menarik dilakukan oleh Majid Irsan al-Kilani yang menyebutkan dalam salah satu karyanya bahwa al-Ghazzali telah melakukan sebuah perubahan revolusioner di dalam dunia pendidikan masa itu. Di dalam berbagai karyanya, al-Ghazzali membongkar penyakit-penyakit pemikiran di dalam masyarakat pada masa itu yang diindikasikan dengan banyaknya pertikaian antar mazhab, maraknya perdebatan seputar hal-hal yang sepele dan melupakan hal yang pokok, kecenderungan ilmuwan/ulama untuk dekat dengan pusat kekuasaan yang mengindikasikan rusaknya tujuan mencari ilmu. Analisis al-Kilani menyimpulkan bahwa kemenangan umat dalam perang Salib dengan tokoh sentralnya Shalahuddin al-Ayyubi bukanlah kemenangan yang datang tiba-tiba bersama kedatangan Shalahuddin. Menurutnya kedatangan Shalahuddin dengan pasukannya yang gagah berani merupakan sebuah proses panjang yang dimulai dari mengobati berbagai penyakit pemikiran di dalam masyarakat. Dalam hal ini, menurut al Kilani, al Ghazzali bersama-sama dengan Abdul Qadir al-Jailani merupakan tokoh kunci pemberantasan berbagai kerusakan pemikiran masyarakat yang kemudian melahirkan sebuah masyarakat baru yang di bawah kepemimpinan Shalahuddin al Ayyubi yang berhasil secara gemilang merebut kembali Palestina dari tangan penguasa Kristen pada tahun 1187.
Pada tulisan berikut akan dibahas tentang konsep ilmu menurut al-Ghazzali yang mencakup tentang penggolongan ilmu, pandangannya tentang ilmu fardhu ‘ain dan fardhu kifayah, serta konsep pendidikannya yang tersirat dari ulasannya tentang adab murid dan guru. Sebagai pembuka pembahasan konsep ilmu dan pendidikan al Ghazzali ini, kita akan memulainya dengan menampilkan biografi al-Ghazzali berikut ini.
2. Biografi Imam Al-Ghazzali
Imam al-Ghazzali lahir di di desa Taberan distrik Thus, Persia pada 450 H (1058 M). Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad. Gelar al-Ghazzali sendiri diduga diambil dari usaha leluhurnya di bidang pertenunan (ghazzal). Ayahnya sendiri adalah seorang penenun yang shalih dan sederhana serta suka mengunjungi para ulama untuk menuntut ilmu. Ia senantiasa memohon kepada Allah agar dianugerahi anak yang berilmu.
Ketika kecil al-Ghazzali bersama adiknya, Ahmad, belajar di sebuah madrasah swasta. Beberapa waktu kemudian ia melanjutkan pendidikannya di Zarzan dan belajar di bawah bimbingan seorang ulama besar Imam Abu Nasr Ismail. Sejak kecil al-Ghazzali telah memperlihatkan minatnya yang besar terhadap ilmu. Ia senantiasa mencatat pelajaran dari gurunya. Pernah suatu ketika ia dirampok dan barang-barangnya termasuk catatan pelajarannya dibawa lari oleh perampok itu. Dengan keberaniannya ia mendatangi perampok itu dan memintanya mengembalikan catatan-catatan tersebut. Melihat permohonan al-Ghazzali yang penuh harap, sang perampok lalu mengembalikan catatan-catatan tersebut.
Al-Ghazzali kemudian melanjutkan sekolahnya di Madrasah Nizhamiyah di Nishapur. Sekolah ini merupakan sekolah yang terpandang di masa itu dan dipimpin oleh ulama terkenal bernama Imam Haramain. Ketika gurunya wafat, al-Ghazzali yang waktu itu berusia 28 tahun pergi meninggalkan Nishapur menuju Baghdad. Di Baghdad ia ditawari menjadi pengajar dan pada 484 H ia diangkat menjadi rektor Madrasah Nizhamiyah. Pengangkatan al-Ghazzali sebagai pemimpin lembaga pendidikan termasyhur pada masa itu menunjukkan pengakuan banyak orang akan ketinggian ilmu al-Ghazzali.
Pada tahun 488 H Al-Ghazzali pergi menunaikan ibadah haji yang kemudian dilanjutkannya mengujungi Syams dan Baitul Maqdis kemudian ke Damaskus. Pada masa itulah ia mengarang kitab Ihya ‘Ulumuddin. Pada masa itu hidup dengan amat sederhana, berpakaian kasar, mengurangi makan dan minum, banyak mengunjungi masjid dan desa, serta melatih diri dengan banyak beribadah kepada Allah SWT.
Kemudian ia kembali ke Baghdad dan mengajarkan kitab Ihya ‘Ulumuddin. Lalu ia kembali ke Perguruan Nizhamiyah, Nisabur. Akhirnya, ia kembali ke kampung halamannya Thus dengan membangun sebuah madrasah di sana untuk ulama-ulama fiqih dan pondok untuk para sufi. Di sini ia menghabiskan sisa hidupnya untuk memberi pelajaran kepada para penuntut ilmu hingga wafat pada 14 Jumadil Akhir 505 H (1111 M).
Al-Ghazzali meninggalkan banyak karya dari berbagai bidang ilmu seperti teologi, fiqih, logika, filsafat, spiritual, dan tafsir. Di antara karya-karyanya itu, kitab Ihya’ ‘Ulumuddin adalah karyanya yang paling monumental yang saat ini masih banyak dikaji oleh umat Islam di seluruh dunia.
3. Pandangan Al-Ghazzali Mengenai Kerosakan Ilmu
Al Ghazzali memberi nama kitabnya yang paling masyhur itu dengan nama Ihya ‘Ulumuddin yang berarti menghidupkan ilmu-ilmu agama. Nama ini menyiratkan kegelisahan al-Ghazzali yang menilai ilmu agama pada masa itu telah dianggap mati atau sekurangnya sekarat. Yang dimaksud dengan mati di sini adalah bahwa ilmu agama di sini telah kehilangan makna hakikinya. Meskipun Al-Ghazzali menyaksikan masih banyak terdapat ulama atau para ahli ilmu agama di zamannya, namun mereka tidak lagi meneladani para sahabat dan salafus shalih yang memiliki sifat zuhud (tidak condong kepada kehidupan duniawi) dan berakhlak mulia.
Al-Ghazzali menjelaskan bahwa hilang atau matinya ilmu agama bermula dari merosotnya mutu pemimpin muslim, khususnya setelah masa Khulafa’ur Rasyidin. Ketika Rasulullah SAW wafat, kepemimpinan umat Islam diambil alih oleh para sahabat yang mereka semua adalah orang-orang yang bukan saja menonjol sifat kepemimpinannya tetapi juga memahami hukum-hukum Allah secara baik. Dengan demikian, ketika hendak memutuskan suatu permasalahan, mereka dapat mengambil keputusan sendiri (ijtihad) yang sesuai dengan syariat yang telah ditetapkan Allah SWT dan Rasul-Nya, kecuali hanya untuk beberapa permasalahan tertentu yang membutuhkan musyawarah.
Pada masa itu kita katakan bahwa kepemimpinan negara dan kepemimpinan agama menyatu dalam diri seorang khalifah. Kepemimpinan ini merupakan kepemimpinan yang paling dekat dengan model kepemimpinan Nabi Muhammad SAW dimana kepemimpinan agama dan politik menyatu dalam diri beliau. Hal inilah yang menjadikan seorang ilmuwan Barat, Michael Hart, menempatkan Nabi Muhammad SAW sebagai tokoh yang paling berpengaruh dalam sejarah manusia.
Keadaan yang berbeda muncul setelah Khulafa’ Rasyidin wafat. Kemudian secara bertahap kepemimpinan umat Islam diganti oleh khalifah yang tidak memiliki pengetahuan mendalam terhadap hukum-hukum Allah, kecuali khalifah tertentu seperti Umar bin Abdul Aziz. Para khalifah ini tidak mampu memberi fatwa secara mandiri dalam menyikapi persoalan umat sehingga mereka membutuhkan bantuan para ahli fiqih agar keputusan mereka tidak keluar dari syariat Islam. Mereka akhirnya sering meminta pendapat dari ulama-ulama yang masih bersih agamanya dari tujuan-tujuan duniawi. Bahkan, khalifah bukan saja meminta pendapat, tetapi juga menawarkan mereka jabatan di dalam pemerintahan, misalnya sebagai hakim pengadilan. Namun, ulama-ulama ini seringkali menolak jabatan tersebut bahkan lebih memilih dihukum daripada menerima jabatan. Misalnya, Imam Abu Hanifah yang berulang kali menolak tawaran jabatan di pemerintahan dan lebih memilih dipenjara dan dihukum cambuk daripada menerimanya.
Masyarakat kemudian melihat keadaan ini sebagai peluang memperoleh jabatan pemberi fatwa, apalagi seiring dengan makin berkembangnya wilayah Islam kebutuhan negara terhadap ahli fatwa semakin banyak. Sejak itu banyak orang mulai mengkaji ilmu fiqih, namun tujuannya tidak lagi murni untuk mencari keridhaan Allah melainkan untuk bisa mengisi jabatan-jabatan pemberi fatwa di pemerintahan. Ketika kecenderungan ini menyebar kemudian mendominasi para pencari ilmu maka makin banyaklah bermunculan orang-orang yang disebutnya sebagai ulama su’ atau ulama dunia. Sebaliknya al-Ghazzali merasakan semakin langkanya ulama-ulama akhirat, yaitu orang-orang yang menuntut ilmu dengan tujuan ikhlas mencari ridha Allah SWT. Keadaan inilah yang dimaksud oleh al-Ghazzali dengan matinya ilmu agama.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa bahwa pangkal dari rusaknya ilmu menurut Imam al-Ghazzali adalah karena rusaknya tujuan mempelajarinya. Hal ini terkait dengan kebersihan niat dimana orang-orang belakangan yang mencari ilmu untuk tujuan selain dari mencari keridhaan Allah. Inilah yang hendak diperbaiki al-Ghazzali melalui buku Ihya’ ‘Ulumuddin ini sehingga al-Ghazzali memulai bukunya dengan pembahasan mengenai konsep ilmu. Bab ilmu ini terdapat pada kitab Ibadah yang isinya mencakup tentang keutamaan ilmu termasuk juga keutamaan mempelajari dan mengajarkannya, penggolongan ilmu, masalah perdebatan, adab guru dan murid, bahaya-bahaya ilmu serta kriteria ulama akhirat dan ulama dunia. Penempatan di awal ini menunjukkan bahwa pemahaman terhadap konsep ilmu menjadi kunci penting agar penuntut ilmu terhindar dari penyimpangan tersebut di atas.
4. Konsep Ilmu Menurut al-Ghazzali
4.1. Penggolongan Ilmu
Al-Ghazzali menilai bahwa ilmu harus diletakkan kembali pada tempatnya yang sesuai. Agar bisa meletakkan ilmu pada tempatnya, tentu perlu diketahui dimana letak ilmu itu masing-masing sehingga al-Ghazzali membuat banyak penggolongan ilmu di dalam kitab Ihya’ ‘Ulumuddin. Secara umum ilmu itu dapat dikelompokkan ke dalam dua kelompok besar, yaitu ilmu syariah dan bukan syariah
1. Ilmu syariah, yaitu ilmu yang berasal dari para Nabi dan Rasul yang tidak diperoleh melalui perantaraan akal (seperti berhitung), atau melalui percobaan (seperti kedokteran), atau juga melalui pendengaran (seperti bahasa). Semua ilmu syariah merupakan ilmu terpuji. Terpuji di sini dapat diartikan sebagai ilmu yang dapat memberikan kebaikan (bermanfaat) baik bagi yang mempelajarinya maupun orang lain. Ilmu syariah dibagi lagi dalam dua kelompok :
o Fardhu ‘ain, yaitu ilmu yang wajib bagi setiap Muslim
o Fardhu kifayah, yaitu ilmu yang wajib bagi sebagian Muslim
2. Ilmu bukan-syariah, yaitu semua ilmu yang diluar pengertian ilmu syariah. Ilmu ini dapat digolongkan lagi menjadi
o Terpuji. Ilmu ini terbagi lagi dalam dua kelompok
 yaitu ilmu fardhu kifayah
 ilmu utama, yaitu ilmu yang bukan fardhu tetapi bermanfaat untuk melengkapi atau menyempurnakan ilmu-ilmu fardhu. Contohnya, detail-detail ilmu kedokteran atau matematika.
o Mubah, yaitu ilmu yang dalam tinjauan agama tidak membawa kebaikan maupun keburukan bagi yang mempelajarinya atau orang lain. Contohnya ilmu puisi atau ilmu sejarah.[5]
o Tercela, yaitu ilmu yang membawa keburukan bagi yang mempelajarinya atau orang lain. Contohnya adalah ilmu sihir.

Gambar 1. Bagan Konsep Ilmu dalam Pemikiran al-Ghazzali
Pengelompokan di atas bukan hanya sekedar klasifikasi tetapi juga menunjukkan derajat kedudukan ilmu yang satu terhadap ilmu yang lain. Dengan demikian, berdasarkan bagan di atas ilmu fardhu ‘ain lebih tinggi dari fardhu kifayah. Begitu juga ilmu fardhu kifayah dari kelompok ilmu syariah lebih tinggi kedudukannya dibandingkan ilmu fardhu kifayah dari kelompok ilmu bukan-syariah.
4.2. Tentang Ilmu Fardhu ‘Ain dan Fardhu Kifayah[6]
Pada dasarnya ilmu itu sangat luas atau tidak terbatas, sedangkan kemampuan manusia sangat terbatas. Oleh karena itu dengan keterbatasan akal dan usianya, manusia tidak mungkin bisa menguasai semua ilmu yang ada. Sementara itu, di sisi lain Nabi Muhammad SAW memerintahkan umat Islam untuk menuntut ilmu. Dengan demikian berarti perintah Nabi Muhammad SAW untuk menuntut ilmu bukanlah untuk menuntut semua ilmu, melainkan terbatas pada ilmu-ilmu yang penting saja.
Para ulama umumnya sepakat bahwa ada ilmu yang fardhu bagi setiap muslim (fardhu ‘ain) dan ada yang fardhu bagi sebagian muslim (fardhu kifayah). Disebut fardhu karena jika ilmu ini tidak diketahui maka individu muslim (di dalam fardhu ‘ain) atau segolongan muslim (di dalam fardhu kifayah) terancam mendapat dosa dan murka Allah. Inilah yang dimaksud dengan ilmu yang penting dipelajari itu. Namun yang menjadi masalah adalah bagaimana menentukan ilmu mana yang termasuk fardhu ‘ain dan ilmu mana yang termasuk fardhu kifayah. Al-Ghazzali menyimak perdebatan masyarakat mengenai hal ini di masa itu dimana umumnya pandangan mereka sangat terkait dengan kecenderungan masing-masing orang. Misalnya, bagi para ahli fiqih, ilmu fiqihlah yang merupakan ilmu fardhu ‘ain, sedangkan ahli tafsir Quran dan Hadits menyebut ilmu-ilmu al-Qur’an dan Hadits yang merupakan fardhu ‘ain. Demikian juga para ahli tasawuf akan menyebutkan ilmu tasawuflah yang fardhu ‘ain. Demikian seterusnya.
Menurut al-Ghazzali ilmu fardhu ‘ain sangat tergantung dengan keadaan hidup seseorang sehingga ia tidak sepakat dengan pengertian yang kaku seperti di atas. Kewajiban menuntut ilmu ini berubah dari waktu ke waktu sesuai dengan perubahan yang terjadi pada orang tersebut. Hal ini didasarkan bahwa keadaan yang berbeda akan menuntut kewajiban yang berbeda pula. Demikian juga hal ini ditegaskan al-Qur’an dalam surat al-Baqarah (2) : 286
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.
Ayat di atas menunjukkan kewajiban yang Allah bebankan kepada setiap orang tidaklah sama. Itu berarti kewajiban orang kaya tidak sama dengan kewajiban bagi orang miskin, kewajiban penguasa tidak sama dengan kewajiban rakyat jelata, kewajiban orang dewasa tidak sama dengan anak-anak, kewajiban orang sakit tidak sama dengan kewajiban orang sehat, dan kewajiban wanita tidak sama dengan kewajiban laki-laki. Demikian seterusnya.
Kemudian, seperti telah disampaikan di atas bahwa kehidupan manusia itu berkembang maka tuntutan kewajibannya pun juga mengalami perubahan. Dengan demikian ilmu fardhu ‘ain bersifat dinamis dan berubah menurut perkembangan kehidupan masing-masing individu. Misalnya, seorang yang miskin tidak wajib mengetahui ilmu tentang zakat, namun ketika ia dianugerahi kekayaan maka ilmu tersebut menjadi wajib baginya. Ilmu yang wajib diketahui itu hanya sebatas dengan kewajiban yang harus ia penuhi. Artinya, ia tidak wajib mengetahui detail ilmu zakat, kecuali dengan kadar yang ia butuhkan yang sesuai dengan keadaannya pada saat itu.
Al-Ghazzali membagi lagi ilmu fardhu ‘ain ini dalam dua kelompok, yaitu ilmu mukasyafah dan mu’amalah. Ilmu mukasyafah adalah ilmu yang wajib diketahui saja dan ilmu ini hanya dicapai ketika hati telah bersih dari berbagai sifat tercela. Sedangkan ilmu mu‘amalah adalah ilmu yang wajib diketahui dan diamalkan. Al Ghazzali hanya membahas ilmu mu‘amalah tapi tidak membahas ilmu mukasyafah karena ilmu ini sangat sulit dipahami dan diuraikan. Namun demikian, menurut al-Ghazzali ilmu mukasyafah dapat dicapai dengan mengamalkan ilmu mu’amalah.
Ilmu mu‘amalah mencakup tiga hal, yaitu yang berkait dengan keyakinan (i’tiqad), perintah, dan larangan. Dalam hal keyakinan, misalnya seseorang yang sampai pada usia baligh, wajib mengetahui ilmu tentang Allah, sekurang-kurangnya ia mempelajari dan mengetahui dua kalimat syahadah. Ia wajib meyakini hal ini tanpa keraguan sedikit pun. Bila ini telah ditunaikan, berarti ia telah melaksanakan kewajibannya kepada Tuhan.
Keyakinan kepada dua kalimah syahadah ini menimbulkan kewajiban baru yaitu melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan Allah sehingga muncul cabang baru ilmu mu’amalah yaitu pengetahuan tentang perintah dan larangan. Namun, pengetahuan mengenai perintah dan larangan tidak cukup hanya diketahui saja tetapi juga harus diamalkan dalam kehidupan. Dalam pengertian ini Al-Ghazzali menegaskan keterkaitan antara ilmu dengan amal dan kesempurnaan ilmu terwujud dalam kesempurnaan amal.
Al-Ghazzali menjelaskan bahwa setelah mempelajari dan mengetahui dua kalimat syahadat muncul baginya kewajiban untuk menegakkan shalat, oleh karena ia wajib mengetahui ilmu tentang shalat termasuk juga pengetahuan tentang bersuci (thaharah) karena untuk bisa shalat seseorang diwajibkan bersuci lebih dulu. Demikian juga ketika ia mulai memiliki harta maka ia wajib mengetahui ilmu tentang zakat. Mendekati Ramadhan ia sudah harus membekali dirinya dengan pengetahuan tentang ibadah shaum. Ketika akan datang musim haji sedangkan ia sudah memenuhi semua syarat untuk bisa berangkat haji maka ia diwajibkan untuk mempelajari ilmu tentang ibadah haji sebelum berangkat menunaikannya. Semua ini adalah ilmu mu’amalah yang terkait dengan perintah.
Begitu juga dalam ilmu mu‘amalah yang berkaitan dengan larangan. Misalnya, seseorang yang telah meyakini dua kalimah syahadah harus mengenal larangan-larangan agama. Misalnya, ketika ia hendak makan maka ia seharusnya mengetahui mana makanan halal dan mana yang haram dan ia harus menghindarkan dirinya dari yang haram. Begitu juga ketika ia berbicara ia juga harus mengetahui bahwa ia harus meninggalkan perkataan yang dusta. Ketika ia hendak berdagang maka ia harus mengetahui bahwa ia tidak boleh mengurangi timbangan dan bisa membedakan mana yang jual beli dan mana riba dan ia wajib meninggalkan segala bentuk kecurangan dan riba.
Termasuk juga dalam ilmu fardhu ‘ain menurut al-Ghazzali adalah mengetahui hal-hal membinasakan yaitu keadaan-keadaan hati yang tercela seperti sombong, ujub, riya’, dengki, dan lain-lain. Seorang manusia tidak akan luput dari cobaan keadaan hati seperti ini dan menghilangkan sifat-sifat ini merupakan suatu fardhu’ain. Jika ia jatuh ke dalam keadaan ini maka ia akan mendapat dosa, oleh karena itu ia harus mengetahui hal-hal yang terkait dengan sifat-sifat tercela ini. Agar ia selamat dari sifat-sifat ini maka menurut al-Ghazzali setiap orang hendaknya mengenal batas-batas, sebab-sebab, tanda-tanda, dan cara pengobatan penyakit hati ini.
5. Konsep Pendidikan Al Ghazzali
Al-Ghazzali menilai bahwa ilmu itu harus mengantarkan orang yang mempelajarinya mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Inilah yang disebut dengan ilmu bermanfaat. Sekiranya keduanya tidak bisa diraih, paling tidak kebahagiaan akhirat bisa diperoleh karena inilah kebahagiaan yang hakiki. Sekiranya ilmu itu memberi kebahagiaan bagi kehidupan dunia tapi tidak mengantarkan kebahagiaan akhirat maka ilmu ini bukan termasuk ilmu yang di maksud al-Ghazzali karena tidak ada artinya memperoleh kebahagiaan dunia tetapi memperoleh kesengsaraan di akhirat. Penekanan al-Ghazzali terhadap ilmu jalan akhirat ini tidak berarti al-Ghazzali mengabaikan atau meremehkan ilmu-ilmu yang dibutuhkan untuk kemaslahatan dunia atau ilmu-ilmu duniawi. Selama ilmu-ilmu dunia ini satu arah dengan tujuan mencapai kebahagiaan akhirat, maka ilmu ini merupakan ilmu yang bermanfaat. Al Ghazzali berkata :
Agama tidak teratur kecuali dengan teraturnya dunia, karena sesungguhnya dunia itu adalah ladang akhirat. Dunia adalah alat yang menyampaikan kepada Allah ‘Azza wa Jalla bagi orang yang mengambilnya (dunia) sebagai alat dan persinggahan, bukan bagi orang yang menjadikannya sebagai tempat menetap dan tanah air.
Hal-hal utama dalam pendidikan dapat kita bagi dalam tiga elemen utama, yaitu yang mendidik (guru), yang dididik (murid), dan cara mendidik (metode). Oleh karena itu kunci keberhasilan proses pendidikan sangat tergantung pada kesiapan guru mengajar, kesiapan murid menerima pelajaran, dan penggunaan metode yang tepat. Di dalam Ihya’ ‘Ulumuddin al-Ghazzali memang tidak secara langsung menyinggung tentang ketiga hal ini. Namun demikian, uraiannya tentang adab murid dan guru, cukup menggambarkan beberapa pemikirannya tentang konsep pendidikan yang merefleksikan pandangannya terhadap ketiga elemen penting tersebut. Berikut ini adalah beberapa konsep pendidikan al-Ghazzali dan analisis singkat relevansinya dalam sistem pendidikan saat ini.
5.1. Kriteria Akhlak dalam Belajar
Al-Ghazzali menyebutkan adab murid yang pertama adalah bahwa seorang murid harus membersihkan jiwanya dari akhlak tercela sebelum belajar. Ia menekankan hal ini karena berpandangan bahwa menuntut ilmu adalah suatu bentuk ibadah, yaitu ibadah hati (bathin), sebagaimana sabda Rasulullah SAW :
Menuntut Ilmu itu fardhu bagi setiap muslim (HR. Ibnu Majah)
Pada dasarnya setiap hal yang diwajibkan Allah kepada manusia merupakan ibadah, sedangkan menuntut ilmu diwajibkan (fardhu) bagi setiap muslim, maka dari itu menuntut ilmu adalah ibadah. Al-Ghazzali mengibaratkan menuntut ilmu dengan shalat. Jika shalat, yang merupakan ibadah lahir, harus didahului dengan membersihkan badan (wudhu), maka demikian pula halnya ibadah batin ini (menuntut ilmu) juga perlu dimulai dengan membersihkan jiwa dari berbagai bentuk kekotoran. Karena ilmu tidak akan masuk ke dalam jiwa yang kotor sebagaimana tidak diterimanya shalat jika dilakukan dalam keadaan tidak suci yang menunjukkan bahwa untuk belajar perlu ada persiapan kejiwaan.
Di sini juga al-Ghazzali mengisyaratkan suatu bentuk seleksi yang bukan hanya berdasarkan kecerdasan intelektual tetapi seorang murid juga harus memiliki suatu kriteria akhlak sebelum mendapat pelajaran atau diterima sebagai seorang murid. Hal ini berbeda dengan sistem pendidikan yang berlaku saat ini yang menghilangkan aspek akhlak dalam pendidikan dan hanya fokus pada aspek intelektual. Sistem pendidikan seperti ini akan menghasilkan lulusan dengan yang pengetahuan tinggi tapi pengetahuannya tidak membawa kebaikan, malah berpotensi membawa kerusakan di dalam masyarakat.
Mengenai pentingnya kriteria akhlak, al-Attas menyebutkan bahwa dalam seleksi penerimaan mahasiswa di tingkat pendidikan tinggi kriteria akhlak (perilaku) merupakan sesuatu yang harus menjadi pertimbangan. Ini berarti penerimaan mahasiswa di pendidikan tinggi tidak seharusnya berlandaskan pada prestasi-prestasi akademik formal saja.
Regarding entrance the higher level of education, it is not sufficient merely for an individual to allowed to qualify on the basis of good results in formal scientific subjects, as is practised today everywhere. No doubt personal conduct is recognized as important in many education systems, but their notions of personal conductare vague and not really applied effectively in education…
Menurut al-Attas, meskipun sistem seleksi berbasis akhlak (perilaku) itu belum, atau belum banyak, dipraktikkan sampai saat ini, namun sistem seleksi itu bukanlah sesuatu yang sulit atau tidak praktis. Hal ini perlu mendapat perhatian, karena alumni pendidikan tinggi adalah orang-orang yang akan memegang jabatan penting di masyarakat, sehingga baik-buruknya perilaku mereka akan berdampak besar terhadap kemaslahatan masyarakat banyak.
5.2. Meminimalkan Pengaruh Luar yang Dapat Mengganggu Konsentrasi Belajar
Di dalam adab murid kedua, al-Ghazzali menyebutkan bahwa seorang murid hendaknya meminimalkan keterkaitan dirinya dengan kesibukan dunia. Hal ini dinilai akan mengganggu konsentrasi belajar karena bila terlalu banyak mengerjakan urusan lain diluar pelajaran membuat murid menjadi terpecah pikirannya. Dalam suatu analogi, al-Ghazzali menyebutkan bahwa pikiran yang terpecah karena berbagai urusan ibarat sungai-sungai kecil yang terpencar-pencar sebelum sampai ke ladang (tujuan) telah habis dulu di tengah jalan karena telah habis diserap tanah atau menguap ke udara.
Konsep pendidikan yang berusaha membatasi interaksi murid dengan dunia luar seperti ini dapat kita temukan di dalam lembaga pendidikan seperti pesantren atau di dalam lembaga pendidikan modern dikenal sebagai boarding school (sekolah berasrama). Di dalam pendidikan seperti ini murid-murid relatif terisolasi dari keadaan luar yang dapat mengganggu konsentrasinya dalam belajar. Urgensi pendidikan model ini semakin terasa seiring dengan makin tidak amannya murid-murid sekolah dari berbagai gangguan yang ada di sekitarnya. Gangguan ini bisa berupa gangguan keamanan seperti perkelahian, kriminalitas, dan sejenisnya atau juga gangguan terkait aktivitas yang tidak penting namun banyak menyita waktu seperti jalan-jalan di mall, pesta-pesta, nongkrong, main games, dan lain sebagainya. Selain itu juga terdapat gangguan yang mempengaruhi fikiran seperti berbagai informasi yang merusak seperti yang bisa ditemukan di televisi, internet, permainan elektronik, majalah, koran, atau orang-orang disekitarnya. Di antara semua gangguan tersebut, teknologi merupakan gangguan yang harus diwaspadai secara khusus karena tidak semua orang menyadari bahwa perkembangan teknologi terkini, khususnya teknologi informasi dan komunikasi, telah memberikan banyak masalah terhadap kegiatan pendidikan.
5.3. Kepercayaan dan Penghormatan Penuh Kepada Guru
Di dalam adab murid ketiga disebutkan bahwa seorang murid harus mempercayai gurunya layaknya kepercayaan pasien kepada dokter. Seorang murid juga tidak boleh sombong dan ia hendaknya selalu menghormati gurunya. Bagaimanapun juga, kelebihan guru terhadap murid terletak pada banyaknya pengalaman sehingga meskipun bisa jadi ada murid yang sangat pintar, tetapi bagi al-Ghazzali pengalaman guru lebih tinggi derajatnya dari kepintaran murid. Itu sebabnya seorang murid tidak boleh membantah gurunya dan harus mengikuti semua perintah gurunya. Bahkan menurut al-Ghazzali pendapat guru yang salah masih lebih baik daripada pendapat muridnya yang benar.
Di dalam pendidikan modern pendapat seperti ini terkesan tidak demokratis dan dianggap terlalu mendewakan guru. Namun jika ditelaah lebih dalam, hal ini merupakan hal penting dijaga karena untuk menjaga kewibawaan guru. Murid yang mendebat guru dengan cara yang berlebihan (tidak sopan) sehingga mempermalukan guru di hadapan murid-murid yang lain akan menghancurkan semua kepercayaan murid-murid terhadap otoritas guru dalam mengajar. Jika hal ini sampai terjadi proses pengajaran tidak lagi berjalan efektif karena murid-murid sudah kehilangan kepercayaan kepada gurunya. Meskipun seorang murid benar dalam hal ini, tapi ia telah menghancurkan sebuah sistem belajar yang sulit untuk diperbaiki.
Tidaklah tepat mengatakan bahwa dengan kepercayaan dan penghormatan murid terhadap guru inni al-Ghazzali telah mengabaikan kemungkinan guru berbuat semena-mena terhadap murid. Karena disamping murid, menurut al Ghazzali guru juga harus memiliki adab. Jika seorang murid saja dituntut suatu kriteria akhlak yang tinggi sebelum menempuh pendidikan apalagi halnya bagi pengajar. Di dalam adab guru yang pertama al Ghazzali menyebutkan bahwa seorang guru hendaknya menyayangi murid-muridnya seperti orang tua menyayangi anak-anaknya. Sementara di dalam adab kedua, disebutkan pula seorang guru hendaknya merupakan seorang yang meneladani Rasulullah dan tidak meminta upah dalam pengajarannya. Dengan demikian, sikap semena-mena tersebut kecil kemungkinannya muncul dari seorang guru yang memiliki kriteria adab seperti tersebut di atas.
5.4. Proses Pendidikan Dilakukan Dengan Kasih Sayang
Al-Ghazzali menilai kedudukan guru lebih tinggi dari kedudukan orang tua karena seorang gurulah yang memberi manfaat bagi kebahagian akhirat seseorang sedangkan orang tua berjasa bagi kehidupan dunianya. Dengan demikian jika dalam pergaulan dengan seorang anak dengan orang tua dilakukan dengan kasih sayang, maka lebih-lebih lagi jika pergaulan itu dilakukan antara guru dengan murid. Hal ini juga ditegaskan oleh hadits Rasulullah SAW:
Sesungguhnya aku bagimu adalah seperti orang tua kepada anaknya.
(H.R. Abu dawud, An Nasa‘i, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibah dari hadits Abu Hurairah)
Al-Ghazzali memandang Rasulullah adalah guru bagi para sahabat dan beliau mengibaratkan hubungan dirinya dengan para sahabat seperti hubungan antara anak dan orang tua. Oleh karena itu tidaklah berlebihan untuk mengatakan bahwa guru adalah juga orang tua bagi murid-muridnya.
Di dalam sistem pembelajaran modern saat ini sifat kasih sayang antara guru dan murid ini terasa semakin berkurang. Salah satu sebabnya adalah karena kecenderungan sekolah yang semakin berorientasi bisnis. Ini membuat hubungan antara guru dan murid lebih terkesan sebagai hubungan antara penjual dan pembeli. Guru hanya merasa berkewajiban memberi ilmu karena untuk itulah ia dibayar. Sedangkan murid merasa bahwa ia memiliki hak untuk mendapat ilmu dari guru karena merasa bahwa ia telah menunaikan kewajibannya membayar uang sekolah.
Jika konsep pendidikannya adalah konsep yang mengedepankan kasih sayang maka proses pendidikan akan bersifat menyeluruh. Menyeluruh di sini adalah dalam pengertian bahwa seorang guru tidak cukup hanya memperhatikan atau bertanggung jawab pada perkembangan belajar muridnya secara intelektual saja, tetapi juga memperhatikan perkembangan akhlak murid tersebut. Seorang murid harus senantiasa diingatkan dan dinasehati bahwa tujuan belajar adalah mendekatkan diri kepada Allah dan bukan untuk mencari kedudukan atau kekayaan dunia. Disamping itu guru berkewajiban mencegah muridnya dari berlaku buruk, dan apabila murid melakukan perbuatan tercela maka seorang guru berkewajiban mengingatkannya. Namun demikian, hal ini sebaiknya dilakukan dengan cara tidak langsung atau terang-terangan, dan juga dengan cara baik atau kasih sayang karena hal ini akan mengurangi potensi pembangkangan dan sakit hati murid akibat teguran tersebut.
5.5. Tahapan-Tahapan dalam Belajar
Di dalam adab murid keenam disebutkan bahwa belajar seharusnya dilakukan secara bertahap. Kebertahapan dapat berarti :
1. Proses pendidikan dimulai dari mempelajari yang paling penting bagi murid. Ilmu yang paling penting adalah ilmu fardhu ‘ain. Ilmu fardhu ‘ain adalah prioritas pertama setiap pelajar. al-Ghazzali mencela orang yang menyibukkan diri dengan ilmu fardhu kifayah tetapi melupakan ilmu fardhu ‘ain.
2. Dimulai dari yang paling mudah karena memulai belajar dari yang paling mudah memberikan semangat dan menghindarkan diri dari rasa putus asa. Oleh karena itu dalam mendidik guru hendaknya menyesuaikan penyampaian pelajaran sesuai dengan kecerdasan atau daya tangkap murid. Al-Ghazzali melarang seorang guru memaksakan suatu pelajaran yang tidak bisa dicapai atau belum siap diterima oleh muridnya.
3. Mengikuti urutan ilmu karena ilmu itu memiliki urutan, dalam pengertian suatu ilmu baru bisa dibahami jika sudah dikuasai ilmu yang lain, atau kita sebut dengan ilmu prasyarat. Dalam kasus-kasus tertentu, untuk memahami suatu ilmu seseorang harus memahami dulu ilmu prasyarat.
4. Seorang murid harus menghindarkan diri mendengar perselisihan atau beda pendapat di antara ahli ilmu. Dalam satu bidang ilmu seorang murid apalagi pemula sebaiknya berpegang pada pendapat gurunya saja. Mengambil suatu ilmu pada beberapa orang pada saat yang bersamaan dapat membingungkan murid sehingga kemajuan belajarnya menjadi terhambat.
6. Simpulan dan Penutup
Dari uraian tersebut di atas dapat kita ambil beberapa hal penting. Pertama, kerusakan ilmu bermula dari rusaknya niat dalam menuntut ilmu. Jika ilmu dipelajari bukan untuk mencari keridhaan Allah maka akan lahir orang-orang yang berakhlak yang rendah serta memiliki kecenderungan berlebihan kepada kehidupan duniawi. Hal ini dapat menimpa siapapun, baik mereka yang mempelajari ilmu syariah maupun bukan-syariah.
Kedua, ilmu harus diletakkan pada tempat yang sesuai. Oleh karena itu setiap orang perlu memahami kedudukan setiap ilmu. Penggolongan ilmu yang dilakukan oleh al-Ghazzali memberikan sebuah panduan derajat masing-masing. Karena ilmu itu sangat luas dan tidak mungkin dipelajari seluruhnya maka setiap orang harus bisa menetapkan ilmu-ilmu mana yang menjadi prioritasnya sesuai dengan keadaannya masing-masing. Konsep ilmu fardhu ‘ain dan fardhu kifayah semakin memperjelas ilmu mana yang yang didahulukan sehingga seorang muslim telah menunaikan perintah Nabi SAW yang menyebutkan bahwa menuntut ilmu itu merupakan kewajiban bagi setiap muslim.
Ketiga, bahwa al-Ghazzali telah merumuskan beberapa konsep pendidikan yang sebenarnya masih relevan bahkan dibutuhkan untuk memperbaiki kelemahan pendidikan zaman sekarang. Diantaranya adalah pentingnya kriteria akhlak bagi para pelajar, meminimalkan pengaruh luar yang dapat mengganggu konsentrasi belajar, kepercayaan dan penghormatan kepada guru, sikap kasih sayang dalam proses pendidikan, serta pentingnya tahapan dalam belajar.
7. Daftar Pustaka
1. Al-Qur’anul Karim
2. Al-Ghazzali, Ihya’ ‘Ulumuddin, diterjemahkan oleh Mohd. Zuhri, Muqoffin Muctar, Muqorrobin Misbah, Semarang : Penerbit Asy Syifa, 2003
3. Attas, al-, Syed Muhammad Naquib, Islam and Secularism , Kuala Lumpur : ISTAC, 1993
Catatan Kaki:
[1] Disampaikan dalam diskusi bulanan PIMPIN pada Rabu, 26 Juli 2010
[2] Peneliti PIMPIN
[3] Untuk uraian lebih lengkap tentang peran al Ghazzali dalam mengobati penyakit pemikiran masyarakat pada masa itu, lihat : Majid Irsan al-Kilani, Misteri Masa Kelam Islam dan Kemenangan Perang Salib, Bekasi : Penerbit Kalam Aulia Mediatama, 2007.
[4] Michael Hart, 100 Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah, Jakarta : PT Dunia Pustaka Jaya, 1978
[5] Dr. Yusuf Qaradhawi memandang bahwa ilmu-ilmu mubah yang dipelajari untuk berkhidmat di jalan Allah dan terkait dengan masalah keumatan termasuk dalam kelompok ilmu fardhu kifayah. Misalnya mempelajari ilmu sejarah yang bertujuan untuk meluruskan penyimpangan sejarah oleh para orientalis agar umat Islam memperoleh informasi yang benar mengenai sejarahnya. Lihat : Yusuf al-Qaradhawi, Menghidupkan Nuansa Rabbaniah dan Ilmiah, Jakarta : Pustaka al-Kautsar, 2000, hal. 158-159
[6] Uraian mengenai konsep fardhu ‘ain dan fardhu kifayah, lihat : al-Ghazzali, Ihya’ ‘Ulumuddin, diterjemahkan oleh Mohd. Zuhri, Muqoffin Muctar, Muqorrobin Misbah, Semarang : Penerbit Asy Syifa, 2003, hal. 46-70
[7] Pembahasan tema ini diambil dari pembahasan kitab ihya’ ‘Ulumuddin bab ke-5 mengenai adab (tata kesopanan) guru dan murid. Lihat : Al-Ghazzali, Ihya’ ‘Ulumuddin, diterjemahkan oleh Mohd. Zuhri, Muqoffin Muctar, Muqorrobin Misbah, Semarang : Penerbit Asy Syifa, 2003, hal 149-181
[8] Al-Ghazzali, Ihya’ ‘Ulumuddin, diterjemahkan oleh Mohd. Zuhri, Muqoffin Muctar, Muqorrobin Misbah, Semarang : Penerbit Asy Syifa, 2003, hal 43
[9] S.M.N. Al-Attas, Islam and Secularism , Kuala Lumpur : ISTAC, 1993, hal. 165
[10] John Naisbitt menguraikan secara panjang lebar bahwa perkembangan teknologi yang pesat seperti saat ini telah memberikan banyak masalah kepada manusia yang seringkali tidak disadari. Meskipun penelitian Naisbitt hanya mengupas persoalan teknologi di Amerika, namun pola-pola yang sama sebenarnya sudah bisa dilihat di negara kita. Lihat : John Naisbitt, et. al. High Tech High Touch : Pencarian Makna di Tengah Perkembangan Pesat Teknologi, Bandung : Penerbit Mizan, 1999
[11] Stephen N. Elliot, dkk. menyebutkan hasil penelitian yang menunjukkan keterkaitan antara tingkat kesulitan materi pelajaran dengan motivasi belajar. Pelajaran yang terlalu sulit cenderung akan melemahkan motivasi belajar siswa. Lihat : Elliot, Stephen N. et al., Educational Psychology : Effective Teaching, Effectife Learning, McGraw Hill, Third Edition, hal 346

Monday, January 10, 2011

POLEMIK KEMUJUDAN TUHAN

Polemik atau persoalan-persoalan dalam membahaskan kewujudan Tuhan menjadi intipati utama dalam antologi pemikiran Islam dan juga beberapa aliran pemikiran besar dunia yang lain. Dewasa ini, memang tidak dinafikan bahawa perdebatan epistemologi agama yang berlaku di antara kaum muslimin dan penganut-penganut agama lain telah mempercepatkan lagi proses lahirnya 'Ilm al'Kalam ataupun lebih dikenali sebagai ilmu Teologi Islam.

Perbahasan antara Jahm bin Safwan dan kaum Sumaniyyah menjadi titik tolak dalam perkembangan Teologi Islam yang sehingga hari ini masih menjadi rujukan utama pada masa kini. Bagi yang mengetahui kisah di sebalik perdebatan ini, sememangnya diketahui Jahm mempunyai pendiriannya yang tersendiri dalam menghurai dan membahaskan tentang kewujudan Tuhan meskipun dikatakan bahawa hujah beliau menolak sifat-sifat Tuhan. Tetapi melalui polemik-polemik tajam yang dikemukakan oleh beliau, lahirnya satu bentuk baru dalam membuktikan kewujudan Tuhan.

Di sini telah dipertontonkan gaya polemik yang berlaku di antara Jahm bin Safwan dengan kaum Sumaniyyah seperti berikut:

Sumaniyyah: kami berjanji jika hujah kami lebih kuat dari hujah kamu, kamu akan memeluk agama kami.
Dan jika sebaliknya, jika hujah kamu lebih kuat , kami akan memeluk agamamu. Mereka berkata: Adakah kamu menyangka bahawa kamu mempercayai Tuhan?

Jahm: Ya.

Sumaniyyah:Adakah kamu melihat mata Tuhan kamu?

Jahm:Tidak

Sumaniyyah:Adakah kamu mendengar percakapanNya?

Jahm:Tidak

Sumaniyyah:Adakah kamu dapat mencium bauanNya?

Jahm: tidak.

Sumaniyyah: Tentu sudah kamu dapat merasaiNya?

Jahm: tidak

Sumaniyyah: Tentu pula kamu dapat menjamahiNya?

Jahm; Tidak

Sumaniyyah: Apakah TUhan membuat kamu mengetahui yang Dia itu Tuhan?

Pabila tiba pada polemik bahagian ini seakan-akan Jahm mengalami kebingungan dengan persoalan-persoalan khas yang ditujukan bagi membuktikan bahawa Tuhan itu sememangnya wujud. Bagaimana harus beliau menjawab pertanyaan tersebut?Lalu muncul satu alternatif yang dikemukakan oleh Jahm bagi mematahkan hujah-hujah yang dikemukakan golongan Sumaniyyah. Beliau lantas telah mencari beberapa soalan-soalan yang sesuai agar ianya mudah diterima akal golongan Sumaniyyah. Hal ini menyebabkan perdebatan mengenai bukti kewujudan Tuhan semakin berlarutan dengan munculnya pula pertanyaan-pertanyaan baru seperti berikut:

Jahm: Adakah kamu menyangka bahawa kamu mempunyai ruh?

Sumaniyyah: Ya

Jahm: Adakah kamu melihat ruh-ruh kamu?

Sumaniyyah:Tidak.

Jahm: Adakah kemu mendengar percakapannya?

Sumaniyyah: Tidak.

Jahm: Adakah kamu dapati ianya mempunyai rasa?

Sumaniyyah: Tidak.

Sumaniyyah: Begitu juga Allah, zat-Nya tidak dapat dilihat, suaraNya tida dapat didengar, bauNya tidak dapat dicium, tidak dapat dilihat dengan mata. DIA berada dimana sahaja.

Melalui polemiK yang berlaku di antara Jahm bin Safwan dengan kaum Sumaniyyah ini telah menunjukkan kepada kita bahawa Jahm mempunyai daya pemikiran yang agak kuat iaitu beliau mampu mematahkan hujah-hujah yang dikemukakan oleh kaum Sumaniyyah dengan menggunakan metodologinya yang dibentuk secara sendirian. Kaum Sumaniyyah pada permulaannya tidak mempercayai kewujudan Tuhan kerana ianya tidak mampu dicapai oleh pancaindera manusia. Melihat kepada situasi ini, dapat dilihat barangkali kaum Sumaniyyah mengamalkan konsep kepercayaan aliran empirisisme yang mana kewujudan Tuhan hanya dapat dibuktikan melalui pancaindera yang sedia ada pada manusia.

Di sini pentingnya hubungan akal dan Wahyu dalam konteks untuk mengenali Tuhan. Perhubungan akal dan wahyu yang wujud sejak sekian lama telah menjadi satu permasalah kerana wujud pihak-pihak yang menyatakan bahawa akal harus diutamakan dalam menyelami pembuktian kewujudan Tuhan. Teras utama pada hakikatnya dalam membuktikan kewujudan Tuhan adalah melalui perhubungan akal dan wahyu. Makanya haruslah bermula perbahasan mengenai kewujudan Tuhan itu melalui pencarian yang sebenar bagi membuktikan kewujudan Tuhan dan pengamalan konsep pembudayaan ilmu yang jelas dan teratur pada realitinya.

RISALAH UNTUK KAUM MUSLIMIN

Meskipun zahir bentuk bashari,

batinnya bangsa terlalu safi,

kerana peri haknya ruhani,

pernah berkata lisannya murni:

sebagai nabi aku terkandungdalam rahasia di Balai Agung,

Padahal Adam masih terapung

antara air dan tanah lempung.



meskipun rupaku anak Adam,

darjatku asal lebih kiram.



Tatkala Adam belum teringat,

Tatkala Adam belum tersurat,

dan Papantulis belum tercatat,

sudah terpandang oleh kunhi

Zat seri wajahku di dalam mirat.



Sinaran sani cahaya kamalat,

pancaran murni asma dan sifat,

rumusan seni segala makhlukat

yang zahir pada cermin hakiakat---

Dalam diriku semua terlibat.



~Risalah Untuk Kaum Muslimin~

Prof Syed Muhammad Naquib Al-Attas

PENENTUAN KEUTAMAAN

Penentuan keutamaan adalah merupakan intipati mendahulukan yang utama. Ini merupakan perkara yang jelas. Mengapa? Hal ini demikian kerana sekalipun seseorang mahukan segala-galanya, tidak mungkin baginya memperoleh semua yang dihajati. Tidak mungkin juga seseorang melakukan segala-galanya demi memenuhi semua kehendaknya. Jadi, tentukanlah keutamaan supaya sesuatu dapat dilakukan secara berkesan dan seterusnya kejayaan diperoleh. Fikirkan...apakah perkara paling penting bagi dilakukan ketika ini?



Dr Ibrahim Hamd al-Quayyid menjelaskan "apa yang saudar lakukan apabila jumlah waktu yang ada sedikit sedangkan sasaran yang hendak dicapai banyak? Daam hal ini, saudara tiada pilihan melainkan menentukan keutamaan. Ketahuilah orang yang dianggap berjaya dalam hidup bukanlah orang yang produktif ataupun orang yang menghasilkan pelbagai perkara. Sebenarnya orang yang berjaya adalah orang yang mampu mencapai matlamat yang disasarkan dalam masa yang tersedia baginya."



beliau menerangkan mengenai cara menyusun keutamaan iaitu dengan membahagikan tugas dan tanggungjawab yang kita perlu lakukan setiap hari kepada enam kumpulan:



1)paling penting dan tidak dapat ditunda

perkara yang diwajibkan ke atas kita tidak boleh ditinggalkan, palin penting dan mesti dilakukan dengan segera termasuk dalam kategori ini. contohnya ibadah, kewajipan ataupu n tanggungjawab yang sudah tiba masanya dilaksanankan. Pada masa yang sama apabila kita menangguhkan ataupun terus meninggalkannya, ia dianggap melanggar perintah agama, dapat mendatangkan bahaya ataupun dianggap tidak menepati janji.



2) Mata penting dan tidak dapat ditunda

kategori kedua terdiri daripada perkara yang amat penting dan mesti dilakukan. Tetapi ia tidak perlu dilakukan dengan segera. Pelaksanaannya boleh ditangguhkan. Perkara yang termasuk dalam kumpulan ini adalah: menentukan matlamat hidup, merangka beberapa rancangan masa depan, mengejar kekayaan dalam kerjaya, meningkatkan taraf hidup, bersenam, menjalin silaturrahim, menunaikan ibadah sunat dan sebagainya.

apabila perkara yang termasuk dalam kategori ini tidak dilaksanakan, maka akibatnya adlaah kegagalan dalam merealisasikan matlamat penting dan dalam melaksanakan pelbagai tanggungjawab penting. Ini kerana tugas dan kegiatan kumpulan kedua ini adalah bahagian kejayaan yang ada dalam kehidupan kita. Apabila ia tidak diawasi dan dilaksanakan, kehidupan menjadi tidak bererti dan usaha tidak mendatangkan matlamat.



3) Penting dan tidak dapat ditunda

kategori ketiga terdiri daripada perkara-perkara penting yang tidak dapat ditunda. Ia adalah tugas dan tanggungjawab penting, meskipun tidak sepenting perkara yang tergolong dalam kategori pertama. Misalnya meningkatkan tahap pendidikan anak-anak. Secara umumnya, tugas-tugas dalam kategori ketiga ini adalah tugas-tugas yang diwajibkan ke atas kita kita dan bukan tugas yang kita rancang.



4)Penting tetapi dapat ditunda

kategori keempat terdiri daripada perkara-perkara penting. Tetapi pelaksanaannya dapat ditunda. Contohnya membaca, mengikuti kursus bagi meningkatkan kemahiran, membincangkan cara-cara memperkembangkan perniagaan syarikat dengan pihak atasan dan sebagainya. Walaupun dapat ditunda, perkara yang termasuk dalam kumpulan ini cukup memberi ke atas usaha kita bagi mencapai kejayaan hidup.



5)Tidak penting tetapi tidak dapat ditunda

perkara yang termasuk dalam kategori ini sebahagian besarnya perkara yang membazirkan masa kita dan sering dijumpai dalam kehidupan seharian. Ia terdiri daripada perkara-perkara yang tidak menyumbang ke arah kejayaan dalam mencapai matlamat yang ditetapkan. Walaupun tidak penting, tetapi oleh sebab keadaan pada ketika ia berlaku, maka perkara-perkara ini bisa dilakukan pada masa itu juga. Anehnya perkara-perkara yang tidak penting ini banyak memakan waktu kita.



terdapat banyak perkara yang termasuk dalam kategori ini. Sebagai contoh, sewaktu ingin menziarahi orang yang sakit. Tiba-tiba perhatian kita terarah kepada sebuah rancangan televisyen yang menarik. Akhirnya kita menghabiskan masa menonton rancangan tersebut. contoh lain adalah rumah kita tiba-tiba di datangi tetamu yang mengunjungi pada masa yang tidap tepat dan sekarang kita perlu melayannya.



6) tidak penting dan dapat ditunda

perkara yang termasuk dalam kelompok ini adalah aktiviti yang membuang masa dan tenaga. Misalnya menonton televisyen selama berjam-jam, membaca akhbar dan majalah tanpa henti, banyak main dan banyak tidur serta lain-lain lagi.



Dalam menentuka keutamaan, kita haruslah memilih perkara-perkara paling penting iaitu yang memberi kesan ke atas kehidupan kita. Perkara-perkara ini mesti diutamakan dan dilaksanakan. Kita perlu memberikan perhatian besar kepada perkara-perkara yang sangat penting ini. Hal-hal yang cukup penting pula perlu diberikan perhatian secukupnya. Hal-hal yang tidak penting perlu dijauhi.



KEPERLUAN MEMPENGARUHI KEUTAMAAN



Biasanya dalam menentukan keutamaan seringkali kita dipengaruhi dengan keperluan. Perkara yang menjadi keperluan kita mempengaruhi keutamaan kita. Oleh sebab itu, kita perly mengenal segala macam keperluan manusia.



1) Keperluan utama

Keperluan utma ialah keperluan yang perlu dipenuhi demi mkebaikan dunia dan akhirat. Apabila tidak dipenuhi, maka kepentingan yang berkaitan dengan kebaikan dunia dan akhirat itu terjejas. Contohnya keperluan-keperluan dalam agama yang disebut Al-Kulliyyat Al-khams yakni: melindungi keperluan agama, jiwa, akal dan keturunan serta harta.



2)Keperluan sekunder

Keperluan sekunder adalah keperluan bagi perkara-perkara yang dilakukan oleh manusia untuk mendatangkan keselesaan, sekaligus menghilangkan kesempitan hidup. Biasanya, kesempitan itu jika dibiarkan mampu mengakibatkan kesengsaraan.



3)Keperluan Tertier

Keperluan tertier adalah perkara-perkara yang diperlukan bagi melengkapkan kehidupan seperti akhlak yang mulia, adat dan kebiasaan-kebiasaan yang baik. Misalnya beberapa perkara dalam agama termasuk dalam kategori ini; Syarat cuci badan, pakaian dan tempat, menutup aurat semasa beribadah, larangan menipu dan sebagainya.



Menurut Dr Muhammad Abdul Jawwad, 'Setiap keperluan yang berada di atas adalah lebih utama dan berhak dipenuhi dengan keperluan yang berada di bawahnya. Jadi, jika berlaku dimana keperluan yang lebih rendah mampu mengakibatkan terganggunya keperluan yang lebih tinggi, maka keperluan yang lebih rendah itu wajar dikesampingkan buat sementara waktu. Oleh sebab itu dalam Islam, hukum-hukum yang disyariatkan bagi memelihara keperluan-keperluan utama adalah paling berhak dipelihara dan dilaksanakan. Sesudah itu. barulah keperluan sekunder dapat dipenuhi dan seterusnya. Allahua'lam..

halwa telinga